Bab 2
Kami berdua telah sampai di sekolah. Walau hari pertama itu menyebalkan, mungkin tidak jika aku memulainya bersama Rao. Yang aku sesalkan pagi ini tempat parkir sangat sesak. Aku dan Rao tidak bisa parkir bersebelahan. Dan sialnya lagi, Rao parkir di dekat sepeda motor si Genit Coudy Mounty.
Coudy adalah, ya, bisa di bilang si Bintang Sekolah. Ayahnya seorang walikota di kota kami, Tuan Mosque Mounty. Coudy, seperti kebanyakan anak orang terkenal lain, sangat sombong. Mungkin dialah satu-satunya anak di sekolah kami yang berangkat ke sekolah dengan sepeda motor.
Kota kami tidak terlalu terkenal. Namanya Cowrytown. Sebuah kota kecil pedesaan dengan fasilitas yang lengkap. Sebenarnya, dahulu kota ini lumayan terkenal sebagai penghasil labu dan susu. Namun entah kenapa, para penduduk berpindah profesi dari beternak menjadi pengusaha. Kejadian itu sudah lama. Mungkin karena kepercayaan masyarakat terhadap cerita-cerita konyol seperti, banyak orang yang hilang di makan monster saat beternak, atau buah labu akan tumbuh sangat besar sehingga dapat memakanmu hidup-hidup.
Menurutku cerita-cerita itu keren. Tapi karena itulah masyarakat mulai menjadikan lahan peternakan mereka menjadi gedung dan rumah-rumah. Dan mungkin hanya sedikit yang masih memiliki kebun belakang sepeti orungtuaku. Kebanyakan orang memilih berdagang barang yang dikirim dari luar daerah untuk daerah kami sendiri. Seperti, banyak mengimport barang.
Yap, aku kembali sendiri sekarang. Hanya melongo melihat Rao digoda oleh Coudy. Kawan-kawan se-geng Co-co-la-la, yah mungkin begitulah nama geng Coudy, hanya melotot melihatku. Tatapan mereka mengancam. Huft! Daripada cemburuku semakin membara, aku segera lari menuju kelasku.
Aku tidak begitu populer di sekolahku. Tapi aku cukup baik di kelas. Aku bukanlah anak yang pemalu dan tidak punya teman. Temanku banyak, dan prestasiku lumayan di kelas ini. Aku hanya berkata di kelas ku saja. Sedangkan di tempat lain, aku sangat jauh dari kata dikenal.
Pagi ini aku masuk kelas dengan agak grogi karena bajuku tak seperti biasa. Biasanya aku memakai baju yang agak bagus ke sekolah. Tapi karena keributan dengan Bombom, semua bisa melihat bajuku agak lusuh. Ah, biarlah!, pikirku. Dan aku segera menuju ke tempat duduk favoritku. Di depan meja guru.
Setelah aku duduk dan sebelum teman-temanku mengerumuniku seperti biasa, bel masuk telah berbunyi. Untung aku tidak telat, pikirku. Tapi aku agak menyesal karena tidak bisa menceritakan pengalamanku berangkat bersama Rao pagi ini.
Rao adalah cowok yang lumayan keren di sekolah. Banyak orang yang menyukainya, termasuk aku. Beruntungnya, dia adalah tetanggaku. Dan sialnya, Coudy Mounty berusaha keras untuk merebutnya. Dia memang selalu merebut apapun yang aku punya. Seperti 2 tahun lalu saat kami sekelas, aku berusaha masuk ke geng-nya, Co-co-la-la. Dan dia menyuruhku membantunya melakukan segala sesuatu. Mungkin bukan membantunya, tapi melakukan segala sesuatu untuknya, seperti mengerjakan PR nya, menyisir rambutnya, memberinya 4/4 dari seluruh permenku, dan banyak lagi. Dan coba tebak, pada saat kenaikkan kelas, dia bilang semua usahaku belum cukup. Gila!
Dan, aku akhirnya sadar, dia bukan teman yang baik bagiku. Aku juga bersyukur tidak akan sekelas lagi dengannya. Akupun tidak sekelas lagi dengan Rao. Tapi itu bukan masalah bagiku. Rao kelihatannya sama sekali tidak suka Coudy.
Ok! Pelajaran pertama yang membosankan. Bukan hanya itu, pelajaran yang selanjutnya juga menyebalkan. Jadi aku hanya duduk bertopang dagu sambil mencoret-coret bukuku. Dan akhirnya tibalah waktu istirahat yang kutunggu-tunggu dari tadi.
Aku segera berkumpul dengan teman-temanku. Ada Verry, yang jago menyanyi, Susi, si anak petani yang gendut, Angelia yang cantik namun miskin, dan Jenny yang paling pintar di antara kami semua. Rata-rata temanku dari kalangan keluarga yang kurang mampu. Walaupun teman-temanku di kelas ini sangat banyak, namun mereka berempat adalah yang paling dekat denganku. Bisa dibilang mereka adalah sahabat-sahabatku.
“Hai Clau!”, sapa Susi.
“Hai juga!”, kataku sambil berdiri dan merenggangkan tangan.
“Capek ya pelajaran hari ini?”, kata Angelia.
“Oh, tunggu sampai Bu Edward beraksi!”, sahut Jenny tersinggung. Bu Edward adalah guru Matematika, sekaligus guru idolanya.
“Ah, dari pada membahas itu, kita mengisi perut saja! Aku mau camilan Fosty! Nyam nyam nyam!”, kata Susi.
“Kau ini! Yang ada di pikiranmu cuma makan makan makan.”, kata Verry dengan suaranya yang khas.
“Hai! Ayolah kita ke kantin! Sekalian mencari Rao. Kalian tahu? Aku berhasil mengajaknya berangkat bersamaku hari ini.”, kataku sombong sambil berjalan ke luar.
“Wah! Ada sedikit kemajuan, he he”, Angelia menanggapi ucapanku.
Aku melirik Sam Alberto. Dia adalah anak laki-laki sekelasku. Entah kenapa dia selalu menunduk saat melihatku. Sangat misterius. Dia berkacamata dan termasuk anak yang tidak keren. Mungkin temannya hanyalah tikus peliharaannya yang selalu dibawanya di saku kemeja.
Teman-temanku terus mengobrol. Tapi aku jadi tidak semangat bicara lagi. Jadi aku hanya diam mengikuti mereka. Sampai di pintu kelas, aku melihat Sam lagi. Dia sedang melihatku! Matanya hitam, namun ada sedikit garis abu-abu di dalamnya. Namun secepat kilat dia segera melihat ke bawah lagi ke arah tikusnya. Mukanya marah. Malu.
Aku sempat terdiam. Namun senggolan Verry dan tawa Susi mengagetkanku. Ah! Gumamku kaget.
“Ayolah Claudia Varm, sedikit bersemangat! Aku akan traktir kalian hari ini teman-teman! Sedikit hadiah untuk kita. Ayo cepat! Nanti kita kehabisan diskon snack Fosty!”, kata Verry.
“Ayo ayo..”, kata Susi bersemangat. “Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini!”
Kami segera meninggalkan kelas. Hari ini berjalan seperti hari-hari biasa. Susi makan snack Fosty dengan lahap, banyak orang memuji Angel, Jenny hebat di pelajaran Bu Edward, Verry sangat spektakuler di pelajaran menyanyi, dan aku hanya diam saja sambil mencoret-coret buku.
Teng teng teng teng…… Lonceng pulang berdentang. Huft! Akhirnya ini berakhir juga! Aku pun segera memberesi barang-barangku. Rendi si ketua kelas memimpin kami semua untuk berdiri dan berdoa bersama lalu memberi salam. Seperti biasa aku semangat melakukan hal ini, karena aku tahu, sebentar lagi aku akan bebas.
Dan sekarang aku telah berada di tempat parkir sepeda. Aku mencari-cari Rao. Sepedanya masih ada. Mungkin dia belum keluar dari kelasnya. Sekarang tempat parkir sepi karena teman-temanku telah pulang duluan. Aku menunggu Rao di atas sepedaku. Kenapa dia lama sekali? Pikirku sambil menoleh ke kanan kiri.
Akhirnya, pangeranku datang juga. Dan di belakangnya ada segerombolan besar penyihir. Ah! Kenapa aku sungguh sial! Aku tak akan bisa mengajak Rao pulang bersama bila masih ada geng Co-co-la-la di dekat sini.
Uh! Rao keren sekali dengan kemeja kotak-kotak dan jaket hitamnya. Rambutnya yang lurus dan acak-acakan, dan gayanya yang menunduk misterius, membuatku tak tahan untuk menyapanya.
“Hai Rao!”, sapaku dengan suara gemetaran yang biasanya.
“Oh, hai Clau. Maaf aku tidak melihatmu tadi.”, dia melihatku dengan matanya yang hitam manis.
“Em, eh, ya.. tak apa-apa. Er,”, sebenarnya sedetik lagi aku akan mengajaknya pulang, sebelum aku melihat Coudy memelototiku. Ah! Aku hampir lupa ada penyihir di sini.
“Ya?”, kata Rao.
“Eh, tidak.”, kataku.
“Oh, ya! Aku akan ada acara di rumah sore ini. Jadi, kuharap kau tak kebertan jika aku pulang duluan, Clau.”, kata Rao.
“Eh, ya. Tentu saja, Rao.”
Rao pun pulang dan geng Coudy mengelilingiku.
“Oh, jadi ini anak tukang pos yang selama ini mengganggu Rao-ku.”, kata Coudy dengan lagak sombong seperti biasa. “Teman-teman, mungkin kita bisa memberi setan cilik ini sedikit pelajaran.”
Oh, tidak! Aku membayangkan akan digantung di pintu toilet, atau kepanganku ditarik dan disangkutkan pada gantungan jaket. Aku hanya diam saja sambil berharap ada seorang pahlawan yang datang menolong.
Tiba-tiba salah satu teman Coudy menjerit. Dia melompat-lompat di tempatnya. Lalu yang lainnya pun melakukan hal serupa. Mereka menjerit-jerit geli sambil berlari-lari dan berteriak, “Lepaskan mahkluk ini dariku!”. Aku sendiri kebingungan. Aku menengok ke kanan dan kiri, banyak sepeda yang roboh karena tersenggol badan geng Coudy. Tas mereka berjatuhan lalu mereka pun menginjak-injak tasnya sendiri dan berlari dengan lagak yang sama.
Coudy Mounty, masih dengan sikap kegelian mengancamku, “Awas kau! Ah!! Auu..!!”. Aku masih kebingungan dengan semua ini. Apa yang terjadi? Lalu tiba-tiba ada seekor tikus di depanku. Kupandangi tikus itu. Banyak sekali yang kupikirkan sekarang. Tikus? Oh, mungkin saja Coudy kegelian karena tikus ini? Dan siapa di sekolah ini yang punya tikus? Kecuali… Aku menoleh ke kanan kiri mencari-cari seseorang. Dan benarlah! Sam Albertpun muncul. Dia masih menunduk seperti biasa.
“Jadi, semua ini pekerjaanmu?”, tanyaku.
Sam hanya mengangguk. Aku merubah raut mukaku sehingga kelihatan marah. Sebenarnya hanya untuk memancing dia bertanya. Tapi Sam ternyata lebih ahli dariku. Dia kelihatan sangat sedih melihatku “marah”. Akhirnya, di akhir pertarungan raut muka kami, aku kalah.
“Huh! Baiklah! Terima kasih ya Sam!”, kataku kahirnya. Sam tersenyum sambil membenahi letak kacamatanya. “Oh, ya! Dan terima kasih juga untuk tikusmu,,..?”. Sam mendekatkan tikusnya ke mukaku agar aku bisa melihat kalungnya. Tertulis “BERT” di kalung kecil itu. Hai! Tikus ini, dia kelihatan sangat spesial. Warna bulunya abu-abu, mirip sekali dengan warna mata Sam. Dan yang paling mencolok adalah matanya. Sangat berkilau. Aku segera sadar, aku telah memandanginya lama sekali. “Oh, maaf. Dan terima kasih juga ,Bert. Sekarang aku akan pulang.”. Aku mengeluarkan sepedaku, yang untungnya tidak ikut roboh saat kejadian tikus berlangsung, dan segera menaikinya.
Sementara itu, Sam kelihatannya juga ingin pulang. Sepedanya juga tidak roboh. Semua dari Sam memang tidak keren, kecuali matanya, menurutku. Mulai dari cara berpakaian, cara bergaul, dan barang-barangnya juga. Tasnya sudah tua dan usang, sepedanya keluaran lama, dan barang yang lainpun begitu.
Aku sekarang sudah sampai di gerbang sekolah. Dan Sam tetap di belakangku. Dia seperti mengikutiku pulang. Setelah aku dan Sam melewati pasar, maksudku, aku dibuntuti Sam melewati pasar, aku segera berhenti. Aku menoleh ke Sam yang juga berhenti di sampingku. “Mengapa kau mengikutiku?”, tanyaku dengan sikap marah. Tapi Sam diam saja. Dia lalu mengayuh sepedanya duluan.
Aku terdiam beberapa detik lalu tersadar dan segera mengejar Sam. “Hai! Tunggu aku!! Saammm…!!!”, teriakku memanggil Sam. dia pun memperlambat jalannya, sehingga aku dapat menyusulnya. Aku menarik napas panjang dan membuangnya. “Kalau memang kita searah, bagaimana kalau kita pulang bersama?”, tanyaku. Dan Sam tersenyum tanda setuju.
Aku pun pulang bersama Sam hari ini. Selama perjalanan, kami tidak saling ngobrol. Kami melewati gedung-gedung, lalu cagar alam, jembatan dan sampai di desaku. Rumahku memang lebih pantas disebut pedesaan. Masih banyak tetanggaku yang memiliki kebun. Ya, karena letak rumahku ini memang jauh dari pusat kota.
3 rumah lagi, kami sampai di rumahku. Tapi Sam tiba-tiba berbelok ke rumah yang dijual. Mungkin orang tuanya membeli rumah itu. Dia pun akhirnya menoleh ke arahku lalu melambaikan tangan. Hanya itu saja salam perpisahannya.
“Sampai besok!”, kataku. Sam hanya mengaguk.
Aku melihat rumah Rao di seberang jalan. Agak ramai memang. Dan aku bisa mendengar suara Rao yang berteriak. Uh! Aku jadi rindu padanya. Aku kembali menuntun sepedaku masuk ke dalam gudang penyimpanan sepeda.
Dan kemudian aku pun masuk ke rumah yang sepi. Kemana semua orang? pikirku. Lalu kubaca surat Bombom di meja ruang tamu.
“Ah! Dasar curang!”, keluhku. Kakakku pergi berkencan hari ini. Pasti dengan laki-laki yang tadi pagi. Itu berarti aku harus mengerjakan pekerjaan rumahku dan kakakku sekaligus.
Tapi, aku sedang capek untuk mengerjakan semua. Jadi aku hanya makan, menyapu rumah, mencuci piring, dan mencuci pakaian. Itu saja. Lalu aku mandi dan kembali ke kamarku untuk belajar.
Orang tuaku pulang pukul 6. Dan mereka langsung berteriak-teriak memanggilku.
“Clau, Clauuu……!!!!!!”
“Iya iya aku datang!!”, aku berlari keluar dari kamarku.
“Kenapa masih banyak daun-daun di halaman depan yang berserakan??”, kata ayahku dengan nada tinggi. “Apa yang akan dikatakan para tetangga nanti?”
“Dan tidak ada makan malam di meja? Juga, Hacchie..!!!”, ibuku menanggapi lalu bersin-bersin.
“Lihat! Ibumu bersin-bersin karena masih banyak debu di rumah! Tak bisakah kau sedikit perhatian? Mengapa kau tidak membersihkan rumah dengan baik, ha?”, kata ayahku marah-marah.
Aku hanya diam saja. Lalu menjawab, “Oh! Jadi kalian ingin hanya aku yang mengerjakan semuanya itu? Menyapu, mencuci, menyedot debu, menyiram kebun, memasak!! Sebagian dari itu adalah tugas kak Bombom! Aku masih tigabelas tahun dan aku hari ini capek!”, kataku panjang. “Mengapa kalian tidak juga memarahi Bombom dan hanya memanjakannya? Atau mengapa kalian tidak pernah mendengarkanku dan selalu membandingkan aku dengan kakakku? Ha!?”, aku lalu lari ke kamarku sambil merajuk.
Aku memang tidak suka bila orang tuaku lebih memanjakan kakakku. Bukan berarti aku mau dimanjakan. Tapi aku mau keadilan. Pasti tidak ada anak yang mau orang tuanya tidak memperhatikannya, dan hanya memanjakan saudaranya. Begitu pula aku. Tapi mau bagaimana lagi. aku terus memikirkan itu sambil berusaha berkonsentrasi pada buku yang kubaca dari tadi.
Sekarang mungkin sudah lebih dari satu jam setelah orang tua ku pulang kerja. Sesekali masih ku dengar ibuku bersin-bersin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar... :)