WELCOME.....

WELCOME.....
^^

Minggu, 27 Februari 2011

editing @ = +!@+!@photoeditors

ini adalah beberapa contoh karyaku, cieleh...haha, semuanya tak akan tercipta tanpa kerja keras Cammy, kamera digitalku tercinta, dan beberapa orang teman seperti Vanya (blognya : www.evanyavsad.blogspot.com ) dan kesia,,, :) sahabat-sahabat terbaik terbaik terbaikku..



ini judulnya Nature :

ini aku nggak tau... :P

ini catatan IPS ku... hehehe

itu cuma 3.. gara2 pengaploadan yang luaaaamaaaaanyaaaaa minta ampuuuuunnn....., jadi cuma 3,, padahal aga beratus2 di laptopku.. :)) dah yaww,, sampai jumpa!!!

Sabtu, 26 Februari 2011

Pahlawan Nasional Favoritku

Hai hai hai...!!
Lagi pengen nulis nih,, jadi ya nulis... :)
Biasanya kan anak-anak nge-fans nya sama pahlawan2 luar negri, lhah padahal, buanyaaaakkkk banget pahlawan lokal dari negara sendiri yang hebat-hebat... Nah, pernah suatu kali aku disuruh buat biografi tentang pahlawan nasional favoritku.. Pengennya nulis tentang Soekarno, tapi dah banyak temen sekolahku yang booking beliau... hehehe,,, saking bingungnya aku muter2 internet cari pahlawan, terbesit rasa keingintahuanku (ceileh, bahasanya!) tentang Martha Cristina Tiahahu, dan menurut pencarianku,, inilah biografi si M.C Tiahahu :
Nama lengkap : Martha Christina Tiahahu
TTL : Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800
Meninggal : Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 (umur 17 tahun)
Nama Orangtua :
- Ayah : Kapitan Paulus Tiahahu (kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.)
- Ibu : -
Jasa-jasa :
Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Dia tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya.
Martha Christina memulai perjuangannya sejak umur 17 tahun, mendampingi ayahnya dalam perang. Martha Christina awalnya membantu perjuangan di daerah sekitar kepulauan Maluku (seperti di Pulau Nusalaut dan Pulau Saparua)sebelum akhirnya dia di tangkap oleh penjajah karena berusaha melepaskan ayahnya dari hukuman mati. Martha Christina lalu dibawa dan diasingkan ke pulau Jawa.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Minggu, 20 Februari 2011

cita2kuuuu.... :)

keinginan orang tu memang bermacam-macam. Tapi gak semua juga bisa terkabul. Betul? (aku kaya ustad di pengajian deh!). Misalnya aja aku. Pekerjaan yang merupakan cita2ku adalah sebagai berikut :
1 Dokter (di pedalaman)
2 Guru
3 Wiraswasta
4 Photografer
5 Novelis
6 Ilustrtor
7 Sutradara
8 Walikota
Tapi tentunya nggak semuanya bisa tercapai. Jadi kita harus pintar2 memilih mana saja yang menjadi bakat dan minat kita. Aku bersama bapakku telah menyusun rencana seperti ini :
>lulus SMP ke SMA 3 Surakarta >milih kuliah di luar negri (kedokteran) >kerja di pedalaman.
Tapi itu belum pasti juga bisa dilakukan....
Selain, harus pandai memilih, kita juga harus usahakan impian kita.Jangan plin-plan dan tidak boleh menyerah...Gagal bukan alasan untuk nggak maju... :)
Itu aja tulisan nggak penting dariku, sampai jumpa...

bluehills

Bab 2
Kami berdua telah sampai di sekolah. Walau hari pertama itu menyebalkan, mungkin tidak jika aku memulainya bersama Rao. Yang aku sesalkan pagi ini tempat parkir sangat sesak. Aku dan Rao tidak bisa parkir bersebelahan. Dan sialnya lagi, Rao parkir di dekat sepeda motor si Genit Coudy Mounty.
Coudy adalah, ya, bisa di bilang si Bintang Sekolah. Ayahnya seorang walikota di kota kami, Tuan Mosque Mounty. Coudy, seperti kebanyakan anak orang terkenal lain, sangat sombong. Mungkin dialah satu-satunya anak di sekolah kami yang berangkat ke sekolah dengan sepeda motor.
Kota kami tidak terlalu terkenal. Namanya Cowrytown. Sebuah kota kecil pedesaan dengan fasilitas yang lengkap. Sebenarnya, dahulu kota ini lumayan terkenal sebagai penghasil labu dan susu. Namun entah kenapa, para penduduk berpindah profesi dari beternak menjadi pengusaha. Kejadian itu sudah lama. Mungkin karena kepercayaan masyarakat terhadap cerita-cerita konyol seperti, banyak orang yang hilang di makan monster saat beternak, atau buah labu akan tumbuh sangat besar sehingga dapat memakanmu hidup-hidup.
Menurutku cerita-cerita itu keren. Tapi karena itulah masyarakat mulai menjadikan lahan peternakan mereka menjadi gedung dan rumah-rumah. Dan mungkin hanya sedikit yang masih memiliki kebun belakang sepeti orungtuaku. Kebanyakan orang memilih berdagang barang yang dikirim dari luar daerah untuk daerah kami sendiri. Seperti, banyak mengimport barang.
Yap, aku kembali sendiri sekarang. Hanya melongo melihat Rao digoda oleh Coudy. Kawan-kawan se-geng Co-co-la-la, yah mungkin begitulah nama geng Coudy, hanya melotot melihatku. Tatapan mereka mengancam. Huft! Daripada cemburuku semakin membara, aku segera lari menuju kelasku.
Aku tidak begitu populer di sekolahku. Tapi aku cukup baik di kelas. Aku bukanlah anak yang pemalu dan tidak punya teman. Temanku banyak, dan prestasiku lumayan di kelas ini. Aku hanya berkata di kelas ku saja. Sedangkan di tempat lain, aku sangat jauh dari kata dikenal.
Pagi ini aku masuk kelas dengan agak grogi karena bajuku tak seperti biasa. Biasanya aku memakai baju yang agak bagus ke sekolah. Tapi karena keributan dengan Bombom, semua bisa melihat bajuku agak lusuh. Ah, biarlah!, pikirku. Dan aku segera menuju ke tempat duduk favoritku. Di depan meja guru.
Setelah aku duduk dan sebelum teman-temanku mengerumuniku seperti biasa, bel masuk telah berbunyi. Untung aku tidak telat, pikirku. Tapi aku agak menyesal karena tidak bisa menceritakan pengalamanku berangkat bersama Rao pagi ini.
Rao adalah cowok yang lumayan keren di sekolah. Banyak orang yang menyukainya, termasuk aku. Beruntungnya, dia adalah tetanggaku. Dan sialnya, Coudy Mounty berusaha keras untuk merebutnya. Dia memang selalu merebut apapun yang aku punya. Seperti 2 tahun lalu saat kami sekelas, aku berusaha masuk ke geng-nya, Co-co-la-la. Dan dia menyuruhku membantunya melakukan segala sesuatu. Mungkin bukan membantunya, tapi melakukan segala sesuatu untuknya, seperti mengerjakan PR nya, menyisir rambutnya, memberinya 4/4 dari seluruh permenku, dan banyak lagi. Dan coba tebak, pada saat kenaikkan kelas, dia bilang semua usahaku belum cukup. Gila!
Dan, aku akhirnya sadar, dia bukan teman yang baik bagiku. Aku juga bersyukur tidak akan sekelas lagi dengannya. Akupun tidak sekelas lagi dengan Rao. Tapi itu bukan masalah bagiku. Rao kelihatannya sama sekali tidak suka Coudy.
Ok! Pelajaran pertama yang membosankan. Bukan hanya itu, pelajaran yang selanjutnya juga menyebalkan. Jadi aku hanya duduk bertopang dagu sambil mencoret-coret bukuku. Dan akhirnya tibalah waktu istirahat yang kutunggu-tunggu dari tadi.
Aku segera berkumpul dengan teman-temanku. Ada Verry, yang jago menyanyi, Susi, si anak petani yang gendut, Angelia yang cantik namun miskin, dan Jenny yang paling pintar di antara kami semua. Rata-rata temanku dari kalangan keluarga yang kurang mampu. Walaupun teman-temanku di kelas ini sangat banyak, namun mereka berempat adalah yang paling dekat denganku. Bisa dibilang mereka adalah sahabat-sahabatku.
“Hai Clau!”, sapa Susi.
“Hai juga!”, kataku sambil berdiri dan merenggangkan tangan.
“Capek ya pelajaran hari ini?”, kata Angelia.
“Oh, tunggu sampai Bu Edward beraksi!”, sahut Jenny tersinggung. Bu Edward adalah guru Matematika, sekaligus guru idolanya.
“Ah, dari pada membahas itu, kita mengisi perut saja! Aku mau camilan Fosty! Nyam nyam nyam!”, kata Susi.
“Kau ini! Yang ada di pikiranmu cuma makan makan makan.”, kata Verry dengan suaranya yang khas.
“Hai! Ayolah kita ke kantin! Sekalian mencari Rao. Kalian tahu? Aku berhasil mengajaknya berangkat bersamaku hari ini.”, kataku sombong sambil berjalan ke luar.
“Wah! Ada sedikit kemajuan, he he”, Angelia menanggapi ucapanku.
Aku melirik Sam Alberto. Dia adalah anak laki-laki sekelasku. Entah kenapa dia selalu menunduk saat melihatku. Sangat misterius. Dia berkacamata dan termasuk anak yang tidak keren. Mungkin temannya hanyalah tikus peliharaannya yang selalu dibawanya di saku kemeja.
Teman-temanku terus mengobrol. Tapi aku jadi tidak semangat bicara lagi. Jadi aku hanya diam mengikuti mereka. Sampai di pintu kelas, aku melihat Sam lagi. Dia sedang melihatku! Matanya hitam, namun ada sedikit garis abu-abu di dalamnya. Namun secepat kilat dia segera melihat ke bawah lagi ke arah tikusnya. Mukanya marah. Malu.
Aku sempat terdiam. Namun senggolan Verry dan tawa Susi mengagetkanku. Ah! Gumamku kaget.
“Ayolah Claudia Varm, sedikit bersemangat! Aku akan traktir kalian hari ini teman-teman! Sedikit hadiah untuk kita. Ayo cepat! Nanti kita kehabisan diskon snack Fosty!”, kata Verry.
“Ayo ayo..”, kata Susi bersemangat. “Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini!”
Kami segera meninggalkan kelas. Hari ini berjalan seperti hari-hari biasa. Susi makan snack Fosty dengan lahap, banyak orang memuji Angel, Jenny hebat di pelajaran Bu Edward, Verry sangat spektakuler di pelajaran menyanyi, dan aku hanya diam saja sambil mencoret-coret buku.
Teng teng teng teng…… Lonceng pulang berdentang. Huft! Akhirnya ini berakhir juga! Aku pun segera memberesi barang-barangku. Rendi si ketua kelas memimpin kami semua untuk berdiri dan berdoa bersama lalu memberi salam. Seperti biasa aku semangat melakukan hal ini, karena aku tahu, sebentar lagi aku akan bebas.
Dan sekarang aku telah berada di tempat parkir sepeda. Aku mencari-cari Rao. Sepedanya masih ada. Mungkin dia belum keluar dari kelasnya. Sekarang tempat parkir sepi karena teman-temanku telah pulang duluan. Aku menunggu Rao di atas sepedaku. Kenapa dia lama sekali? Pikirku sambil menoleh ke kanan kiri.
Akhirnya, pangeranku datang juga. Dan di belakangnya ada segerombolan besar penyihir. Ah! Kenapa aku sungguh sial! Aku tak akan bisa mengajak Rao pulang bersama bila masih ada geng Co-co-la-la di dekat sini.
Uh! Rao keren sekali dengan kemeja kotak-kotak dan jaket hitamnya. Rambutnya yang lurus dan acak-acakan, dan gayanya yang menunduk misterius, membuatku tak tahan untuk menyapanya.
“Hai Rao!”, sapaku dengan suara gemetaran yang biasanya.
“Oh, hai Clau. Maaf aku tidak melihatmu tadi.”, dia melihatku dengan matanya yang hitam manis.
“Em, eh, ya.. tak apa-apa. Er,”, sebenarnya sedetik lagi aku akan mengajaknya pulang, sebelum aku melihat Coudy memelototiku. Ah! Aku hampir lupa ada penyihir di sini.
“Ya?”, kata Rao.
“Eh, tidak.”, kataku.
“Oh, ya! Aku akan ada acara di rumah sore ini. Jadi, kuharap kau tak kebertan jika aku pulang duluan, Clau.”, kata Rao.
“Eh, ya. Tentu saja, Rao.”
Rao pun pulang dan geng Coudy mengelilingiku.
“Oh, jadi ini anak tukang pos yang selama ini mengganggu Rao-ku.”, kata Coudy dengan lagak sombong seperti biasa. “Teman-teman, mungkin kita bisa memberi setan cilik ini sedikit pelajaran.”
Oh, tidak! Aku membayangkan akan digantung di pintu toilet, atau kepanganku ditarik dan disangkutkan pada gantungan jaket. Aku hanya diam saja sambil berharap ada seorang pahlawan yang datang menolong.
Tiba-tiba salah satu teman Coudy menjerit. Dia melompat-lompat di tempatnya. Lalu yang lainnya pun melakukan hal serupa. Mereka menjerit-jerit geli sambil berlari-lari dan berteriak, “Lepaskan mahkluk ini dariku!”. Aku sendiri kebingungan. Aku menengok ke kanan dan kiri, banyak sepeda yang roboh karena tersenggol badan geng Coudy. Tas mereka berjatuhan lalu mereka pun menginjak-injak tasnya sendiri dan berlari dengan lagak yang sama.
Coudy Mounty, masih dengan sikap kegelian mengancamku, “Awas kau! Ah!! Auu..!!”. Aku masih kebingungan dengan semua ini. Apa yang terjadi? Lalu tiba-tiba ada seekor tikus di depanku. Kupandangi tikus itu. Banyak sekali yang kupikirkan sekarang. Tikus? Oh, mungkin saja Coudy kegelian karena tikus ini? Dan siapa di sekolah ini yang punya tikus? Kecuali… Aku menoleh ke kanan kiri mencari-cari seseorang. Dan benarlah! Sam Albertpun muncul. Dia masih menunduk seperti biasa.
“Jadi, semua ini pekerjaanmu?”, tanyaku.
Sam hanya mengangguk. Aku merubah raut mukaku sehingga kelihatan marah. Sebenarnya hanya untuk memancing dia bertanya. Tapi Sam ternyata lebih ahli dariku. Dia kelihatan sangat sedih melihatku “marah”. Akhirnya, di akhir pertarungan raut muka kami, aku kalah.
“Huh! Baiklah! Terima kasih ya Sam!”, kataku kahirnya. Sam tersenyum sambil membenahi letak kacamatanya. “Oh, ya! Dan terima kasih juga untuk tikusmu,,..?”. Sam mendekatkan tikusnya ke mukaku agar aku bisa melihat kalungnya. Tertulis “BERT” di kalung kecil itu. Hai! Tikus ini, dia kelihatan sangat spesial. Warna bulunya abu-abu, mirip sekali dengan warna mata Sam. Dan yang paling mencolok adalah matanya. Sangat berkilau. Aku segera sadar, aku telah memandanginya lama sekali. “Oh, maaf. Dan terima kasih juga ,Bert. Sekarang aku akan pulang.”. Aku mengeluarkan sepedaku, yang untungnya tidak ikut roboh saat kejadian tikus berlangsung, dan segera menaikinya.
Sementara itu, Sam kelihatannya juga ingin pulang. Sepedanya juga tidak roboh. Semua dari Sam memang tidak keren, kecuali matanya, menurutku. Mulai dari cara berpakaian, cara bergaul, dan barang-barangnya juga. Tasnya sudah tua dan usang, sepedanya keluaran lama, dan barang yang lainpun begitu.
Aku sekarang sudah sampai di gerbang sekolah. Dan Sam tetap di belakangku. Dia seperti mengikutiku pulang. Setelah aku dan Sam melewati pasar, maksudku, aku dibuntuti Sam melewati pasar, aku segera berhenti. Aku menoleh ke Sam yang juga berhenti di sampingku. “Mengapa kau mengikutiku?”, tanyaku dengan sikap marah. Tapi Sam diam saja. Dia lalu mengayuh sepedanya duluan.
Aku terdiam beberapa detik lalu tersadar dan segera mengejar Sam. “Hai! Tunggu aku!! Saammm…!!!”, teriakku memanggil Sam. dia pun memperlambat jalannya, sehingga aku dapat menyusulnya. Aku menarik napas panjang dan membuangnya. “Kalau memang kita searah, bagaimana kalau kita pulang bersama?”, tanyaku. Dan Sam tersenyum tanda setuju.
Aku pun pulang bersama Sam hari ini. Selama perjalanan, kami tidak saling ngobrol. Kami melewati gedung-gedung, lalu cagar alam, jembatan dan sampai di desaku. Rumahku memang lebih pantas disebut pedesaan. Masih banyak tetanggaku yang memiliki kebun. Ya, karena letak rumahku ini memang jauh dari pusat kota.
3 rumah lagi, kami sampai di rumahku. Tapi Sam tiba-tiba berbelok ke rumah yang dijual. Mungkin orang tuanya membeli rumah itu. Dia pun akhirnya menoleh ke arahku lalu melambaikan tangan. Hanya itu saja salam perpisahannya.
“Sampai besok!”, kataku. Sam hanya mengaguk.
Aku melihat rumah Rao di seberang jalan. Agak ramai memang. Dan aku bisa mendengar suara Rao yang berteriak. Uh! Aku jadi rindu padanya. Aku kembali menuntun sepedaku masuk ke dalam gudang penyimpanan sepeda.
Dan kemudian aku pun masuk ke rumah yang sepi. Kemana semua orang? pikirku. Lalu kubaca surat Bombom di meja ruang tamu.
“Ah! Dasar curang!”, keluhku. Kakakku pergi berkencan hari ini. Pasti dengan laki-laki yang tadi pagi. Itu berarti aku harus mengerjakan pekerjaan rumahku dan kakakku sekaligus.
Tapi, aku sedang capek untuk mengerjakan semua. Jadi aku hanya makan, menyapu rumah, mencuci piring, dan mencuci pakaian. Itu saja. Lalu aku mandi dan kembali ke kamarku untuk belajar.
Orang tuaku pulang pukul 6. Dan mereka langsung berteriak-teriak memanggilku.
“Clau, Clauuu……!!!!!!”
“Iya iya aku datang!!”, aku berlari keluar dari kamarku.
“Kenapa masih banyak daun-daun di halaman depan yang berserakan??”, kata ayahku dengan nada tinggi. “Apa yang akan dikatakan para tetangga nanti?”
“Dan tidak ada makan malam di meja? Juga, Hacchie..!!!”, ibuku menanggapi lalu bersin-bersin.
“Lihat! Ibumu bersin-bersin karena masih banyak debu di rumah! Tak bisakah kau sedikit perhatian? Mengapa kau tidak membersihkan rumah dengan baik, ha?”, kata ayahku marah-marah.
Aku hanya diam saja. Lalu menjawab, “Oh! Jadi kalian ingin hanya aku yang mengerjakan semuanya itu? Menyapu, mencuci, menyedot debu, menyiram kebun, memasak!! Sebagian dari itu adalah tugas kak Bombom! Aku masih tigabelas tahun dan aku hari ini capek!”, kataku panjang. “Mengapa kalian tidak juga memarahi Bombom dan hanya memanjakannya? Atau mengapa kalian tidak pernah mendengarkanku dan selalu membandingkan aku dengan kakakku? Ha!?”, aku lalu lari ke kamarku sambil merajuk.
Aku memang tidak suka bila orang tuaku lebih memanjakan kakakku. Bukan berarti aku mau dimanjakan. Tapi aku mau keadilan. Pasti tidak ada anak yang mau orang tuanya tidak memperhatikannya, dan hanya memanjakan saudaranya. Begitu pula aku. Tapi mau bagaimana lagi. aku terus memikirkan itu sambil berusaha berkonsentrasi pada buku yang kubaca dari tadi.
Sekarang mungkin sudah lebih dari satu jam setelah orang tua ku pulang kerja. Sesekali masih ku dengar ibuku bersin-bersin.



***

Sabtu, 19 Februari 2011

BlueHills.....

Nih novel baru lagi dari ku...
Haha, aku gonta-ganti judul aja,,




BAB 1

"Aaaaaaaaa………..!!!!!!!!!!!!! Aku langsung bangun dari tidurku. Tubuhku bercucuran keringat dingin. Napasku tersengal-sengal. Aku menarik napas panjang lalu membuangnya lagi. Aku berusaha duduk di tempat tidurku. Aku menyeimbangkan badanku. Aku menarik napas sekali lagi, kali ini dengan lama. Huh… Rasanya aku ingin menangis.
Mimpi itu datang lagi. Jeritan panjang yang mengerikan seorang gadis. Jeritan itu seperti memanggilku untuk membantunya. Aku tidak melihat dengan jelas apa yang aku mimpikan. Tapi jeritan itu selalu mengingatkanku akan seseorang yang pernah kukenal. Yah.. dia, memang dia.
Keringatku masih bercucuran deras. Malam ini hujan. Kulihat jam dinding tuaku. Tepat pada saat itu jam dindingku berbunyi. Duabelas kali. Sekarang jam 12 malam. Dengan perlahan kubaringkan lagi tubuhku. Walau tubuhku berkeringat, aku tetap merapatkan badanku ke selimut. Badanku gemetar. Aku masih memikirkan jeritan itu. Aku berusaha melupakannya, dan segera memejamkan mataku.
Tetapi, pada saat aku hendak memejamkan mata, angin diluar bertiup keras sekali. Dan karena itu jendela kamarku terbuka dengan sangat keras. Decitan dan benturan jelas kudengar. Aku hampir saja melompat dari tempat tidurku karena kagetnya. Angin dari luar segera berebut masuk ke dalam kamarku. Udara semakin dingin. Kertas-kertas yang menumpuk di mejaku terbang ke segala arah.
Aku mendekapkan tanganku, memeluk diriku sendiri dan berjalan menuju jendela untuk menutupnya. Tanpa sengaja aku melihat seseorang. Eh, dia bukan seseorang. Dia mirip manusia. Berdiri di bawah hujan di kebun keluargaku. Dari siluetnya aku bisa melihat kalau dia tinggi, besar, memiliki ekor yang terangkat, dan janggut berantakan.
Perlahan aku mengamatinya. Dengan langkah pelan, dia berjalan masuk ke dalam gudang di kebun kami. Dia berjalan tertatih-tatih, terbungkuk, dan berjalan di bantu tongkat kecil di tangannya.
Setelah dia masuk ke dalam gudang, tiba-tiba, dari dalam gudang muncul cahaya putih bersinar seperti petir dan api yang menjadi satu. Aku menghalau cahayanya dengan lenganku. Ada banyak pikiran di kepalaku. Apa yang harus kulakukan? Apa yang sebenarnya terjadi?
Cahaya itu perlahan-lahan redup. Aku yang penasaran segera bertindak. Kututup jendela kamarku cepat-cepat dan dengan tangan masih memeluk tubuh aku berjalan cepat menuju ke pintu. Aku hendak ke gudang melihat apa yang terjadi.
Aku membuka pintu. Akan tetapi, beberapa detik setelah itu aku mengurungkan niatku. Angin seperti memaksaku kembali ke tempat tidurku yang hangat. Lagi pula pyama yang kupakai sangatlah tipis. Seperti tersadar, aku kembali ke tempat tidurku. Segera tertidur diiringi desah angin malam yang menggedor-nggedor pintu dan jendela kamarku. Tetapi anehnya itu tak membuatku bangun lagi sampai pagi.



Pagi ini aku bangun dengan sangat bersyukur. Aku sama sekali tidak ingat apapun tentang kejadian semalam. Oh, pagi ini aku agak pusing. Selalu seperti ini bila aku ingat ini adalah hari pertama masuk sekolah.
Aku menengok jam dindingku. Beberapa menit lagi aku akan bekerja pagi. Setiap pagi aku memang selalu bekerja. Pekerjaanku sehari-hari berupa pekerjaan rumah tangga. Aku harus menyapu seluruh rumah dan halaman, dan menyirami kebun keluargaku.
Aku duduk di tempat tidurku. Menggeleng-gelengkan kepalaku yang pegal. Merentangakan tangan. Aku memang selalu melakukan hal itu apabila aku bangun sebelum alaramku berbunyi.
Dan benarlah, sewaktu aku turun dari tempat tidur, alaramku berbunyi. Belnya sudah rusak dan sedikit berkarat di bagian atasnya. Tapi suaranya yang sumbang mampu membangunkanku tiap pagi.
Aku segera mematikan alaramku agar tidak membangunkan seisi rumah. Aku berjalan linglung, melewati kertas-kertas yang berserakan di lantai kamarku, lalu membuka jendela. Menghirup udara segar sambil menengok ke kanan. Memperhatikan Rao, anak tetangga sebelah, sedang mencuci sepedanya dan sepada ayahnya. Huh, aku membuang napas. Dari dulu aku memang naksir padanya. Ah, sebaiknya aku segera keluar agar dapat menyapanya.
Aku segera mengganti bajuku dan keluar rumah. Sambil keluar pintu aku menengok ke kiri. Dan tiba-tiba aku merinding. Aku menuruni tangga menuju ke halaman samping rumah. Aku mengambil selang di sebelah gudang.
Ah! Gumamku kaget. 2 ekor tikus berkejaran di depan kakiku sambil menimbulkan suara gaduh. Aku segera berlari menuju ke pompa di depan rumah. Sambil berjalan cepat aku menentukan waktu yang tepat untuk menyapa Rao.
Aku memasang selang ke pompa untuk menyirami kebun keluargaku. Setelah selesai memasang, aku melirik Rao di seberang jalan. Ohh, gumamku. Dia menatapku dengan matanya yang hitam tapi ramah seraya tersenyum geli.
Kakiku gemetaran. Aku pun menatapnya sambil tersenyum. Semanis mungkin. Hai, dia kelihatannya.. Oh tidak!! Ternyata aku memakai sandal di kaki kiri dan sepatu boot di sebelah kanan! Sungguh memalukan! Maka dari itu dia menahan tawanya. Aku segera berbalik dan berlari mengganti alas kakiku dan segera berlari balik.
Tapi sialnya, Rao sudah selesai dengan pekerjaannya dan telah masuk ke dalam rumahnya. Uh, sial sial, gumamku kesal. Aku segera menghidupkan pompa dan melakukan pekerjaanku menyiram tanaman.
Pagi ini aku menyelesaikan pekerjaanku lebih lama dari biasanya. Itu karena kecelakaan sandal di depan Rao tadi pagi. Dan, kakakku jadi lebih dahulu mandi. Kakakku perempuan. Namanya Rosalia. Tapi aku biasa memanggilnya Bombom Manja, karena dia gendut dan suka berdandan.
Dan pagi ini, kakakku mandi lebih dahulu, yang artinya aku harus menunggunya mandi selama 45 menit. Dan biasanya, jikalau kakakku mandi lebih dulu, pakerjaanku bertambah satu, yaitu memasak sarapan kami.
Padahal aku paling sebal memasak. Aku juga sebal harus bekerja setiap pagi. Terkadang aku bertanya pada orang tuaku, mengapa mereka tidak menyewa pembantu saja. Tapi jawab mereka selalu sama.
“Kamu tahu, ekonomi kita sedang tidak baik. Lagipula, itu juga untuk mendidik kamu dan kakakmu supaya dapat bekerja di rumah.”
Itu jawaban yang menyebalkan dan tidak masuk akal! Kalian tahu? Apabila kakakku meminta baju atau apapun, selalu saja mereka belikan tanpa banyak alasan. Huh! Ekonomi sulit bagaimana?
Aku tidak mau orang tuaku banyak berkomentar pagi ini. Menurutku sebagai orang tua, mereka sungguh amat sangat cerewet. Kedua orang tuaku adalah pegawai. Ibuku seorang pengurus, bisa dibilang bawahan walikota. Dan ayahku adalah seorang pengantar surat. Mereka sangat memanjakan kakakku. Dan sering sekali memarahiku. Maka dari itulah aku segera memasak. Pagi ini aku memasak telur goreng dan kentang goreng.
Lama sekali kakakku mandi! Bahkan dia belum juga selesai saat aku selesai memasak. Apa jangan-jangan dia tertidur di kamar mandi? Itu sering sekali terjadi. Atau jangan-jangan… Ah! Pikiranku melayang kemana-mana.
Karena penasaran, aku menengoknya di kamar mandi.
“Hai, Bombom Manja! Sudah selesai belum? Kamu tidur di kamar mandi lagi ya!?”, teriakku sambil mengintipnya. Kami memang sudah sering intip-mengintip saat mandi, karena kami sama-sama perempuan.
“Haaaiiiii!!! Tutup lagi jangan mengintip!”
“Cepatlah!! Nanti aku terlambat sekolah!”
“Tidak bisa! Beri aku waktu 10 menit lagi.”
“Terserah! Kalau kakak mau cara kasar!”
Aku berlari mengambil perlengkapan mandiku dan kembali ke kamar mandi. Aku membuka pintu kamar mandi dan bertengkar dengan kakakku yang sedang memakai parfum. Kami saling dorong. Uh, aku menahan napas. Bau parfum si Bombom sangat menyengat.
“Parfum apa ini?!”
“ Kau tak perlu tahu, anak kecil!”
“Aku bukan anak kecil!! Namaku Claudia!!” teriakku. Aku mendorong kakakku agar dia keluar dari kamar mandi.
“Dan namaku juga bukan Bombom!!”, kakakku balas mendorong.
Aku mendorongnya sekuat tenaga terakhirku. Dan akhirnya kakakku pun berhasil keluar. Walau dengan susah payah karena badannya yang besar dan pintu kamar mandi yang kecil.
“Buka pintunya anak kecil!!!”,teriak kakakku.
“Tak akan pernah!”, balasku sengit.
Kadang kadang, sebagai seorang kakak, Rosalia dapat bersikap baik padaku. Tapi dia lebih sering menjahatiku dan membuatku kesal.
Gara-gara kakakku, pagi ini aku tidak sempat berdandan. Aku hanya memakai bedak dan mengepang rambutku saja. Aku juga tidak sempat memilih baju. Aku memakai baju yang kutemukan di gantungan baju di belakang pintu kamarku. Sebenarnya baju itu sudah lumayan lusuh, tapi dengan sedikit parfum dari pamanku yang bekerja di swalayan, semua bisa menjadi baru. Termasuk bajuku ini.
Aku sarapan dengan cepat dan segera menyiapkan sepeda. Aku melihat sepintas kakakku ternyata dijemput oleh cowok yang lumayan keren. Hi hi hi, makanya mandi lama-lama!, gumamku sambil tertawa kecil. Aku menoleh lagi ke arah kakakku dan temannya yang keren. Temannya itu sedikit menahan napas, seperti tidak tahan dengan parfum si Bombom. Aku tersenyum geli.
Hai! Rao juga sedang bersiap-siap dengan sepedanya. Ah, sebaiknya aku berangkat dengannya!, pikirku.
“Bu, Pak! Aku berangkat!”, teriakku.
Aku mangayuh sepeda sambil menggiggit bibir. Aku gugup jikalau dekat dengan Rao seperti ini. Dengan memberanikan diri aku mengajaknya berangkat bersamaku. Suaraku bergetar. Tapi aku membuatnya sedikit bergembira, tapi malah kedengaran aneh.
Tapi Rao tahu apa maksudku dan kami berangkat bersama ke sekolah. Hatiku rasanya terbang ke awan!
***

HAI!!!!!!!!!!!

Aduhh.... Aku punya blog nggak diurus deh...
hahha
Sekarang ini aku balik lagi ke blogger.. :)
jadi HALO HALO HALO lagi.. :D