WELCOME.....

WELCOME.....
^^

Minggu, 31 Oktober 2010

teks drama bertema kebudayaan

Setting menunjukan sebuah kursi taman panjang.
(Seorang gadis bernama Anindita duduk termenung di kursi taman. Lalu datanglah seorang gadis berjalan di depannya. Tiba-tiba, dompet si gadis yang bernama Dita Kusuma ini terjatuh. Anindita memungutnya dan memberikannya pada Dita Kusuma.)

Kusuma = (menerima dompetnya) “Makasih.”
Anin = (tersenyum) “Sama-sama”
Kusuma = “Dari tadi gue lihat loe sendirian aja. Gue boleh duduk sini kan? (duduk)
Anin = “Oh, aku anak baru di sini. Jadi belum begitu kenal kota ini.”
Kusuma = “Oh, ya? loe anak baru? Sama dong sama gue! Gue juga baru pindah kesini. Kebetulan aja lagi jalan-jalan di taman ini.”
Anin = “Oh.”
Kusuma = “Nama gue Dita!”
Anin = “Ha? Namaku Dita juga!!”

Tiba-tiba datanglah seorang gadis berlari ke arah kedua anak tersebut. Gadis ini bernama Dita.

Dita = (berteriak sambil menghapus keringatnya) “Copeeeettt….!! Copet..!!”

Anin dan Kusuma mencari-cari copet yang dimaksud Dita. Dita lalu menghampiri mereka dan mereka pun berdiri.

Dita = “Kalian lihat copet lewat sini ndak?”
Anin+Kusuma= (menggeleng)
Dita = “Sarden! Tadi bukane malinge lari ke sini?”
Kusuma = “Enggak kok! Dari tadi sepi-sepi aja. Nggak ada copet.”
Dita = (duduk di bangku dan menghela napas) “Ah, padahal ada barang sing pueeentiiing banget di dalam tas yang dicopet tu copet! Edan!”
Anin = “Semoga cepat ketemu ya!”
Dita = “Iya, makasih. Eh, aku boleh duduk sini ndak? Capeke!”
Anin = (tersenyum) “Tentu, kamu dari tadi juga sudah duduk sini.”
Dita = (tersenyum balik) “Halo, aku Dita!”
Anin+Kusuma= (kaget)
Kusuma = “Nama loe Dita juga?! Waduh..”
Anin = “Padahal namaku Dita dan ini…”
Kusuma = (memotong) “…Dita juga.”
Dita = “Bagus no! Kan malah jadi triple Dita..he he..”

Lalu datanglah seorang penjual koran menghampiri ketiga gadis yang sedang tertawa ini. Gadis penjual koran ini bernama Purbadita. Dia berniat menawarkan koran kepada Kusuma, Anin, dan Dita.

Purbadita = “Maaf, Mbak. Mau beli koran saya nggak?”
Anin = “Oh, tolong korannya satu, Mbak!”
Purbadita = (memilihkan koran) “SoloPos lho mbak. Tapi kalau mau juga ada Jawa Pos, Suara Merdeka…”
Anin = “SoloPos nya saja satu. Berapa?”
Purbadita = “Dua ribu.”
Anin = (menerima koran dan menyerahkan uang) “Ini.”
Kusuma = (melihat topi yang di pakai Purbadita yang bertuliskan “DITA”) “Maaf. Yang di topi itu nama loe?”
Purbadita = “Iya.”
Kusuma = “Jadi nama loe Dita?”
Purbadita = “Iya.”
Anin,Kusuma,Dita = (tertawa) Hahaha,, berarti sekarang jadi kwarto Dita dong..Hahaha”
Purbadita = (bingung) “Lho, kenapa? Nama saya lucu ya?”
Dita = “Dudu! Dudu ngono…hahaha”
Kusuma = “Kan nama kita bertiga sama-sama Dita, trus nama loe juga Dita. Hehe”
Purbadita = “Wah, kebetulan sekali!” (tersenyum lalu mendesak-desak teman barunya agar bisa duduk di bangku) “Kalian bertiga masih mau di sini?”
Anin = “Kenapa memangnya?”
Purbadita = “Nggak jauh dari sini ada SBC lho..”
Kusuma = “Apa tuh SBC?”
Purbadita = “Masa nggak tahu? Solo Batik Carnival.”
Kusuma = “Oh, maklum lah gue kan anak baru di sini. Gue baru aja pindah ke sini dari Jakarta.”
Anin = “Aku juga baru. Kalau aku dari Pontianak.”
Dita = “Weh, aku juga baru pertama kali ke Solo. Aku mengunjung Nenekku. Aku dari Boyolali.”
Purbadita = “Waduh! Kalo begitu, untunglah diriku!” (berdiri) “Nona-nona, Selamat datang di Purba TourGuide keliling Surakarta! Saya Purbadita, pemandu wisata anda. Silahkan persiapkan keperluan tour anda sebelum kita memulai perjalanan terhebat sepanjang sejarah!” (berlagak seperti pemandu wisata)
Anin,Kusuma,Dita= (tertawa melihat ulah kawan barunya)
Purbadita = “Tujuan pertama kita adalah Solo Batik Carnival.”

Lalu, keempat gadis ini pergi ke SBC. Sepanjang perjalanan mereka mengobrol tentang daerah asal mereka masing-masing.

Dita = “Ngomong-ngomong, kita kan sama-sama Dita. Aku manggil kalian apa? Masa Dita1, Dita2..hehe”
Kusuma = “Kan nama gue Dita Kusuma. Panggil aja Kusuma.
Anin = ”Kalo aku bisa dipanggil Anin”
Purbadita =”Masa aku dipanggil Purba ?!”
Dita =”Ya Purba aja, bagus lho !”
Kusuma =”Kalo di Jakarta,gue sering banget liat pertunjukan macam gini,kan rumah gue deket sama TMII.”
Anin = “Di Pontianak,aku juga sering liat pertunjukan,tapi nggak kayak gini. Biasanya aku lihat tari . . .,bagus lho! Iringannya pakai Sampek ,aku jago lho main Sampek.”
Kusuma = ”Oh ya,kalo loe jago main Sampek, gue jago main seruling. Gue ikut grup Gambang Kromong di sekolah, sebagai pengiring ondel-ondel.”
Dita = ”Jadi, Anin jago main sampek, dan Kusuma jago main seruling.”
Purbadita = ”Di Solo, tentunya, terkenal dengan gamelan dan batiknya. Sering banget aku lihat pertunjukan kebudayaan disini.”
Dita = ”Di Boyolali, walaupun kelihatannya miskin kebudayaan, tapi sering lho diadakan pelestarian kebudayaan, Aku pernah ikut lomba macapat dan menang”
Anin =”Apa itu macapat?”
Dita =”Macapat itu tembang Jawa, yang jumlahnya ada 11 tembang. Selain itu disana orang-orang juga suka menonton wayang.”
Purbadita =”Hei,apakah kalian tahu baju-baju yang dipakai oleh para peserta SBC ini,bisa dari kreasi mereka dan bisa juga dari bahan-bahan bekas,jadi mengehemat biaya.Selain itu dengan acara seperti ini,masyarakat bisa lebih mengenal budaya kota sendiri dengan baik,selain itu juga untuk melestarikan budaya.Banyak sekali budaya di Kota Solo seperti ini,kapan2 akan kutunjukkan seperti tarian,wayang di Sriwedari,pertunjukkan musik gamelan,tempat bersejarah dan lainlainnya. Nona-nona, ini dia Solo Batik Carnival”
Kusuma =”Wah, ceeepeetnyaaa!”
Anin =”Wow, ramainyaa. Eh, ternyata model bajunya bagus-bagus!!”
Dita =”Ayo kita cari tempat biar bisa lihat dengan jelas!”
(Mereka serempak mengatakan “Ayo”)

Senin, 25 Oktober 2010

Pertukaran Pelajar

Akhir-akhir ini, sekolah saya digegerkan dengan akan dilaksanakannya program pertukaran pelajar. Pertukaran pelajar adalah kegiatan pertukaran pelajar antar sekolah yang bertujuan untuk membandingkan mutu sekolah 1 dengan sekolah yang lain. Namun, bukan hanya itu saja tujuan pertukaran pelajar menurut saya. Apabila seorang pelajar SMP mengikuti pertukaran ini, otomatis dia akan berpindah sekolah untuk beberapa waktu. Nah, tentunya apabila sekolah barunya itu terletak di tempat yang lumayan jauh, anak/pelajar tersebut akan berpindah rumah juga agar jarak antara rumah dengan sekolah tidak begitu mengganggu.Dan, menurut saya, cara ini tentunya juga dapat membangun kemandirian dan altitude(sikap)seorang anak. Dengan lingkungan yang baru, seorang anak dapat belajar menyesuaikan diri, sampai bahkan merubah sikap. Dengan pemikiran seperti itu, saya pun mengajukan diri mengikuti pertukaran ini. Saya bulatkan tekad dan saya pun meminta ijin orang tua. Orang tua saya ternyata setuju! Tentu saja saya senang sekali. Namun, walaupun hampir semua kesiapan berjalan lancar, tentunya masih saja ada kendala yang menghalangi. Beberapa diantara kendala tersebut adalah, sebelumnya program ini memiliki banyak peminat, namun jumlahnya semakin berkurang dan terus berkurang. Peminat program ini mengajukan alasannya masing-masing, ada yang orangtuanya tidak setuju, lalu ada yang takut merindukan keluarganya, ada yang takut memalukan sekolah, dll. Saya agak kecewa dengan hal ini, karena wali kelas saya berkata bahwa kalau peminat kegiatan pertukaran pelajar ini sedikit, maka akan dibatalkan.Yah,, sayang sekali kalau dibatalkan. Tapi semoga keinginan saya untuk menambah pengalaman dan menbangun diri dapt terwujud melalui Pertukaran Pelajar...:D

Jumat, 22 Oktober 2010

JEAN and JONO 1

BAB 1
Ah, mama!” teriak Jean. “Kita kan tidak harus berlibur ke desa?!” gadis kecil ini sudah hendak menangis. “Mama nggak adil! Mama dah janji liburan kali ini mau ngajak Jean ke tempat yang asyik! Tapi kenapa ke desa? Desa kan tidak asyik??” berontak Jean kepada mamanya.
“Siapa bilang desa itu tidak asyik? Di sana pasti asyik kok! Percaya deh sama Mama.” Mama Jean tersenyum.
“Tapi kan ke desannya gak harus besuk?” Jean mulai menangis.
“Sudah, sudah, cup cup.. Memang kenapa kalau besuk?”
“Jean ada janji dengan Novi dan Anggraini untuk pergi ke bazar. Gak mungkin kita ke desa besuk, Ma..”
“Tapi Om Teddy akan menjemput kita besuk. Sudahlah , sebaiknya sekarang kamu bersiap-siap. Nanti kalau sudah selesai, kita makan malam. Ya Jean?” Mama Jean tersenyum sekali lagi lalu pergi ke dapur.
Uh, aku tidak akan bersiap-siap, aku kan tidak mau pergi, pikir Jean. Pokoknya aku akan gagalkan rencana ke desa ini, pikirnya lagi lalu mengambil Jojo, boneka Barbie kesayangannya dan bermain sampai mama memenggilnya untuk makan malam.
“Jean sayang, makan malam sudah siap!!” Jean menyeret kakiknya sampai ke ruang makan. “Kok lemes gitu? Malam ni lauknya sarden lho..” Jean hanya diam. Lalu mengambil nasi dengan porsi seperti biasa, 2 entong nasi. Mamanya tersenyum, membiarkan anaknya mengambil 2 potong ikan sarden dan memakannya dengan lahap. Ah, mirip sekali dengan papanya, pikir mama Jean. Kalau marah pasti makannya banyak.
Jean masih duduk di kelas 4 SD. Anak yang satu ini memang manja. Dia biasanya hanya di rumah sendiri bersama mamanya. Papa Jean sering ditugaskan oleh kantornya ke luar kota. Biasanya dia hanya pulang seminggu sekali. Jadi Papa Jean sayang sekali pada Jean. Dan karena itulah Jean jadi manja.
“Enak?” tanya Mama lalu mengambil nasi, sarden, dan sayur bayam. Jean tidak suka sayur bayam. Menurutnya itu menjijikkan.
“Biasa aja.” kata Jean dengan mulut penuh nasi. Mama hanya tersenyum.
“Ma,” Jean menelan nasi. “kenapa sih kita mesti ke desa?”
“Karena pakdhe Mur sedang syukuran di sana. Dan nanti kamu pasti bisa bersenang-senang kok, karena akan ada banyak sepupu yang datang. Masih ingat kan si kecil Nana, atau kak Dita dari Purworejo? Mereka nanti datang lho!” mama lalu mulai makan dengan lembut, berbeda sekali dengan Jean.
“Tapi kenapa mereka nggak ke sini aja buat ngerayain syukurannya pakdhe?” Jean menyendok sardennya lalu memasukkannya ke mulut sampai mulutnya penuh.
“Kan kita ke desa juga buat nengok Kakek. Masa nanti kakek ke sini? Kan kasihan…” kata Mama.
Jean berpikir. Ah, sama aja aku nggak pengen ke desa! Lalu dia melanjutkan makannya.
“Eh, Jean nati kalau udah selesai beres-beres, bantu mama cuci piring bentar ya!” kata mama setelah Jean dan mama selesai makan.
“Ma, Jean capek. Hari ini saja ya nggak bantu mama.” Jean menunjukkan raut muka kenyang dan mengantuk.
“Emang hari ini Jean ngapa aja kok capek?”
“Ehm,” Jean berpikir lalu mengangkat bahunya.
“Nah, jangan malas, ayo bantu mama!”
“Uhg!” dengus Jean dengan muka cemberut lalu menuruti mama mencuci piring.
Setelah selesai mencuci piring, Jean pergi ke kamar lagi. sebelum dia menutup pintu, mama mengingatkan, “Jangan lupa berkemas-kemas, besuk Om Teddy akan menjemput kita jam 7! Jangan lupa berdoa juga, sayang!”
Aduh, nggak tega juga kalau besuk mama dan Om Teddy harus repot karna aku. Tapi, aku kan memang nggak mau berangkat! Ah, entahlah, besok aku akan bangun dan mendapat ceramahan mama, pikir Jean.
Jean segera tidur pulas hingga lupa berdoa seperti pesan mama. Dia terlalu kenyang malam itu. Tidurnya pun pulas sekali. Sampai-sampai dia tidak terbangun tengah malam untuk mencari cemilan, atau bahkan hanya untuk bermimpipun Jean tidak sanggup.

Sabtu, 09 Oktober 2010

TFG

Aku, sebagai seorang Kristen Protestan, tentunya memiliki tempat ibadah. Nah, kali ini aku akan menceritakan Gerejaku tercinta. Gerejaku bernama GKI Nusukan, letaknya di depan lapangan Prawit, Nusukan.
Aku mulai bergereja di sana sejak aku kelas 2 SD, mengikuti orangtuaku. Waktu itu, aku ikut Sekolah minggu di SM Pos Yakub. Saat itu, aku masih malu-malu. Setelah 4 tahun di SM, aku pun di suruh orangtuaku pindah ke Pra Remaja, yaitu persekutuan setelah sekolah minggu dan sebelum remaja. Memang sistem di gerejaku di bagi : anak SD di SM, anak SMP di Pra Remaja, anak SMA di Remaja, dan anak Kuliah di Pemuda, lalu bebas deh, boleh ikut Jemaat, Muda Dewasa,dll.
Nah, buaaannnyyyaaaaakkkk banget pengalaman berharga yang aku petik di Pra Remaja. Salah satunya, yang nggak bisa aku lupakan adalah waktu pertama kali masuk. Aku belum punya teman waktu itu. Aku belum kenal semua. Lalu setelah aku memperkenalkan diri, ada seorang teman yang menghampiriku, namanya Dewi dan teman2 lainnya pun mulai tanya2 macam2 =D. itu dewi .....

Lalu lambat laun aku mulai kenal banyak anak di Pra, juga kakak2 pembimbingnya yang cuantik2,,, kak Iin dan kak Ayes. Aku ikut dalam PA kelompok yang dibimbing oleh kak Ayes. kak Ayes pinter dan profesional.. =D Lalu, sekitar 1 tahun setelah aku masuk Pra, kak Ayes berpindah tugas di pekerjaannya dari guru tetap menjadi pengajar training. Jadi, akupun dibimbing kak Iin. Eh, walau kak Ayes pergi2 training, bukan berarti kita putus hubungan, kadang2 kami SMSan, apa FBan. Nah, kak Iin, pembimbingku yang satu ini, unik. Lucu, tapi enak di ajak cerita dan ngobrol. Kerjanya di bidang "pitik" alias ayaaaam.

nah, di tahun kedua ini, aku mulai jadi pengurusnya. Aku jadi Sekretaris. Lumayan tambah pengetahuan dan pengalaman. Seneng banget jadi sekretarisnya Pra Remaja. Gak tahu apa yang bisa buat seneng. Seneng aja karena bisa melayani di Pra =)

Aku dah pernah ikut Camp Bina Remaja sekali.... dan pengen ikut lagi....sayangnya dah gak ada. Oh ya! masalah PA, aku seneng banget bisa ikut PA. di sini, kita bersama-sama belajar FirTu tapi dengan santai sambil curhat curhatan dan makan. di sini gak akan ada yang malu buat curhat, karena anggota dalam 1 kelompok PA cuma dikit... jadi merasa terbuka aja.. :D

aduh, dengan menyesal, ceritaku sampai situ dulu. besok kapan2 akan aku lanjutin cerita tentang temen2 di TFG (Pra Remaja). DADAH

Sabtu, 02 Oktober 2010

Mungkin sudah waktunya saya menyebarkan novel ke 3 saya ke sini. Novel saya tidak seprofesional novel2 karangan Lemony Snicked, atau Enid Blyton, atau Jackuilen Wilson, atau yang lain. Tapi saya senang menulis, jadi selamat membaca bab 1 Twins in Love.....

1


Aku Hima. Hari ini tanggal 18 Oktober. Dan hari ini pula aku genap berusia 18 tahun. Sekarang aku sedang mengangkat sesuatu yang sangat berat. Ini adalah salah satu barang milik-atau mungkin kesayangan-ibuku.
Aku dan ibu hari ini memang sangat sibuk. Kami sedang mempersiapkan kepindahan kami ke London. Rasanya berat meninggalkan Velise. Velise adalah desa kelahiranku. Desa ini sangat kecil. Mungkin saja kau tak mengenalnya.
Walau di tempat inilah aku berasal, aku tak punya seorang temanpun. Aku sangat pendiam di sekolah dan bahkan aku dan ibuku jarang bercakap-cakap di rumah. Jadi yang membuatku berat meninggalkan Velise bukanlah teman atau sahabat-karena aku memang benar-benar tidak punya teman-, tapi karena pohon buah plum yang sudah kurawat sejak kecil. Dan sangat tak mungkin aku dapat membawa pohon kesayanganku -yang tingginya telah mencapai 3 meter di atasku- ke London.
Ya ampun, apa sih sebenarnya isi kotak ini? Pikirku. Aku meletakkannya sebentar dengan rasa jengkel. Masih ada beberapa barang lain yang harus aku angkut ke mobil Pak Arl. Dia tetangga kami yang bekerja di bandara.
“Dapatkah kau lebih cepat, Hima?”, kata Pak Arl terburu-buru.
“Ya, Pak”, aku sedikit tersentak dari lamunanku dan mendapati kotak besar itu telah di angkat oleh Han. Oh, aku pasti akan sangat merindukannya juga. Dia satu-satunya teman sekelasku yang peduli padaku. Tentu saja, dia anak Pak Arl.
Aku segera berlari mengambil 4 kotak berukuran sedang yang berisi benda-bendaku dari teras dan berlari pula saat mengangkatnya ke mobil truk yang besar itu. Han mengangkut kotak terakhir dan aku segera mengikat barang-barang di atas truk.
“Hima,”, Han menyentuh pundakku dan akupun berbalik ke arahnya sambil tanganku masih sibuk menyimpulkan tali, “aku akan sangat merindukanmu, Hima”, Han melanjutkannya dengan gugup.
Tanganku berhenti menali. Mendadak sepi di sini, sebelum ibuku berteriak menyuruh kami untuk cepat bertindak. “Yah, Han, aku pasti juga akan merindukanmu. Namun aku tak yakin teman-teman yang lain akan merindukanku.”, kataku sambil menunduk, membayangkan peristiwa saat kelulusan seminggu yang lalu.
Satu-satunya SMA di Velise memang agak ketinggalan. Seharusnya di tempat lain kelulusan sudah 4 bulan yang lalu. Sedangkan di daerah ini, hasil test akhir kami terlambat untuk di kirim.
Waktu itu, aku di sembur mati-matian oleh musuh besarku di sekolah, Jane Coldvord. Dia berhasil mencuri buku harianku dan mengetahui semua rahasiaku. Sebenarnya aku tak bermaksud memusuhinya. Tapi dia iri akan nilaiku. Jadi, kau pasti tahu apa yang di lakukannya. Dia membeberkannya di depan umum. Dan semua orang tidak akan menyangka bila Himawari Chang yang pendiam ternyata tidur memeluk boneka teddy bear besar bernama Honey, atau pernah memanjat pohon sampai celananya hancur.
Ouh, aku selalu ingin meninju muka Jane. Namun aku tidak mau melibatkan diriku pada masalah lain.
“Hima, cepatlah! Kami sudah hampir membatu di sini. Ini lebih dari 15 menit kau memainkan tali itu. Kita di sini bukan untuk bermain. Cepatlah nak!”, ibuku mulai mengomel. Dia paling benci disuruh menunggu. Walaupun kami sama-sama pendiam, namun ibu sering mengomel.
Han dengan cepat dan refleks langsung memelukku. “Sampai jumpa, Hima. Semoga kau dapat hidup baik di London.”
“Pasti, Han. Dan aku akan pulang untuk menengokmu nanti.” Dan setelah itu aku masuk ke truk. Berdesak-desakkan dengan ibu dan Pak Arl. Han melambaikan tangan. Aku dapat mengintipnya dari kaca sepion. Trukpun berjalan dan aku menengok kepada Han dan membalas melambaikan tangan.



Aku George. Hari ini aku berulang tahun yang ke-18. Ini tanggal 18 Oktober dan ini adalah hari keberuntunganku tiap tahun.Aku sangat senang karena di umurku sekarang aku boleh memakai F116, senjata yang paling kusukai. Dan tepat pada hari ini juga aku belajar menggunakannya.
Sekarang aku telah siap dengan pakaian dan tas berlatihku. Aku duduk menunggu dan bersandar di tembok depan sambil menyiulkan mars Quicklenburg, satu-satunya mars yang aku sukai dan bisa kusiulkan.
Jantungku berdebar-debar menantikan saat aku dapat memegang F116. Rasa berdebar-debar itu menjalar sampai ke perut. Kau pasti pernah merasakannya. Seperti di jatuhkan dari ketinggian 20 meter dengan kecepatan tinggi. Tanganku sedikit berkeringat, jadi aku mengusapkannya ke tembok di belakangku.
Dari kecil aku besar di asrama ini, Quicklenbrugh. Ini asrama khusus para QB. Itu adalah sebutan untuk laki-laki yang dipersiapkan untuk menjadi tentara sejak kecil. Aku adalah salah satu dari 89 QB di Quicklenburg. Memang jumlah QB di tempat ini belum pernah genap, sepanjang yang aku tahu.
Krriiiiiinggg.. bel tanda latihan mulai itu berbunyi panjang dan keras hingga dinding di belakangku sedikit bergetar. Aku segera bangkit berdiri. Setelah berlatih cukup lama-mungkin hampir seluruh hidupku kugunakan untuk berlatih, push up, sit up, fitness,dan banyak lagi-otot-ototku mulai terbentuk. Aku bangga karenanya. Namun kebanggaan itu hanya untuk disimpan saja. Semua murid di asramaku berbadan tegak dan berotot. Dan tidak ada satupun wanita di sini, kecuali Bu Sanny, koki di Quicklenburg, dan Bu Harthaway, satu-satunya perawat di sini yang mestinya sudah pensiun 2 tahun yang lalu.
Teman-teman lain pun mulai memasuki aula tempat berlatih menembak. Aku terakhir masuk ke ruang besar ini. Aku meletakkan tasku di tempat yang sama dengan yang lain dan mulai melihat-lihat ruangan ini. Ruang ini memang sangat besar. Tingginya sekitar 3 meter, dan luasnya mungkin 1000 m2. Udara di sini sangat pengap ditambah banyak properti di deret sebelah kanan aku berdiri dan banyak murid yang berdesakan hingga ruangan besar ini terlihat sangat sempit.
Kami semua berjajar menempati kabin kami masing-masing. Lebar kabin hanya 1 meter dan jarak tembakan 10 meter. Sebelum di perbolehkan memegang F116, komandan Jenifer membacakan aturan dalam aula dan mengabsen kami satu persatu.
“Alpha John!”, teriak komandan, menyebut nama John Alpha dari nama belakangnya.
“Ya, pak!”, sahut John bersemangat. John adalah teman sekamarku. Dia selalu bersemangat dalam segala hal.
Komandan kembali mengabsen kami dengan tegas dan cepat.
“Ford Jake, Maichelwish Sean, Gawn Dicky, Spane Harry,…..!!”
“Ya, pak!”, mereka yang di panggil namanya menyahut dengan lantang. Di tempat ini tidak ada yang bisa berbohong saat mengabsen. Para komandan memiliki telinga yang sangat tajam. Merekapun menghafalkan suara kami satu persatu. Dan kau pasti tahu hukuman bagi siapa yang mencoba berbohong.
“Kingest George!”, akhirnya komandan menyebut namaku.
“Ya Pak!”, aku menjawabnya seperti yang lain. Banyak yang mengira namaku aneh waktu pertama kali bertemu aku. George Kingest, aneh sekali, begitulah kata mereka. Namun tentu saja teman-temanku yang hidup bersamaku seumur hidup mungkin tak akan menganggap hal itu aneh lagi.
Komandan Jenifer kembali mengabsen sementara aku kembali melihat-lihat isi ruangan ini. Di dalam sini gelap. Walaupun ada 10 lampu utama, namun masih terlihat gelap. Di belakangku ada banyak sekali senjata yang di gantung pada tembok. Beberapa yang aku kenal, K1008J, A499, 10QB, 1k10, dan F116, tentunya. Dan semua senjata itu di gantung rapi di tembok aula. Jadi secara teknis, selain sebagai tempat berlatih, aula ini menjadi gudang senjata.
“Sekarang, para murid QB, kalian boleh mengambil F116 di belakang kalian! Dan seperti yang sudah kubacakan tadi, kalian dilarang menyentuh atau merusak apapun yang tidak ada hubungannya dengan latihan hari ini.”, komandan berhenti sebentar, ”Laksanakan!”, komandan mulai menghitung 10 detik.
Tempat F116 itu lumayan tinggi. Tapi sebagai calon tentara, tentunya lompatan kami bisa mencapai 2 kali tubuh kami. Akupun bisa dengan cepat mengambil F116. Ini keren. Senjata ini masih mengilap terkena cahaya lampu. Knilen pasti rajin membersihkannya. Knilen adalah, bisa dibilang tukang bersih-bersih di sini.
“Sepuluh!”, komandan mengakhiri hitungannya dan semua QB sudah memegang senjata dan siap di posisi masing-masing.
“Sekarang, yang harus kalian lakukan adalah memasukan peluru ke dalam F116. Dalam 2 detik kalian harus bisa melakukannya.”, komandan menarik napas panjang. “Ini adalah latihan penting. Aku akan melihat bakat F116 ini.”. komandan memberi instruksi kami, ”Hanya buka penutup di bagian bawah holder, dan masukkan satu set peluru. Peluru itu ada di balok di belakang kalian. Mengerti?”, komandan Jenifer selalu tegas apabila memberikan instruksi. Aku suka sifatnya itu.
“Ya, pak!”
“Baiklah kita mulai di hitungan ketiga…”, komandan memberi jeda, “Tiga!” Aku berbalik membuka kotak kecil itu dan memasukan peluru secara cepat.
“Sekarang pegang F116 di bagian holder dan segera arahkan ke sasaran. Dan seperti yang kubilang tadi, aku akan menilai ketepatan dan kemampuan kalian. Di mulai dengan absen satu, dan yang dapat menembak dengan benar dan tepat boleh membawa senjata itu untuk perbekalan, karena..”, seperti biasa komandan memberi jeda pada kalimat panjangnya,”itu memang ditakdirkan untuk kalian. Mengerti?”
Kami bersiap melakukan apa yang diperintahkan komandan. John di sebelahku terlihat sangat bersemangat menembak saat dipanggil namanya. John tepat sasaran!
Oh! Aku berdoa supaya akulah yang ditakdirkan untuk F116. Absen terus bergulir dan sejauh ini belum ada yang tidak tepat sasaran.
Satu nama lagi dan aku akan mendapat giliran itu. Tanganku sedikit bergetar. Aku ingin sekali memiliki senjata yang ada di tanganku untuk diriku sendiri.
“Kingest George!”, namaku mendengung di telingaku. Namun aku tahu apa yang harus dilakukan tentara. Tiba-tiba getaran di tebuhku berhenti. Aku kuatkan hatiku untuk ini. Aku bersungguh-sungguh, dan.. door!! Tembakan F116 membuatku sedikit tersentak ke belakang.
Aku tahu kalau aku tepat sasaran. Tapi, hatiku masih gelisah menunggu siapakah pemilik F116 ini. Giliran menembak terus bergulir. Sampai ke-89 QB selesai menembak dan sampailah pada saat yang kutunggu-tunggu.
“Kalian tahu berapa lama pengalamanku menjadi tentara?”, komandan Jenifer mulai lagi dengan ceramahnya.
“Tidak, Pak!”, kami selalu menjawab lantang untuk semua pertanyaan, perintah, atau apapun. Kau tahu kan, seperti yang biasa dilatihkan padaku.
“Ah, kita tidak perlu membahas hal itu. Yang terpenting sekarang adalah siapakah di antara kalian yang akan memiliki senjata berdedikasi ini. Dan aku telah menentukan, bukan asal, ataupun menganak emaskan, tapi aku melihatnya dari hati.”, komandan menjeda, “dan sudah kuputuskan Kingest George-lah QB itu.”, dari dulu komandan memang tidak berbakat menjadi MC. Dia tidak tahu arti berdebar-debar. Aku sedikit tak percaya dan hampir saja berteriak. Namun aku tahu situasi dan kondisiku. Jadi kuputuskan untuk diam.
“Latihan hari ini telah selesai. Selamat untuk George. Silahkan berkemas dan kembali ke kamar masing-masing.”
“Ya, Pak!”, kamipun membubarkan diri kami masing-masing dan mengemasi barang yang wajib kami bawa setiap harinya. Aku dengan sedikit bangga memasukkan F116 kedalam tasku lalu bersama John, kami pergi menuju kamar kami.