WELCOME.....

WELCOME.....
^^

Sabtu, 02 Oktober 2010

Mungkin sudah waktunya saya menyebarkan novel ke 3 saya ke sini. Novel saya tidak seprofesional novel2 karangan Lemony Snicked, atau Enid Blyton, atau Jackuilen Wilson, atau yang lain. Tapi saya senang menulis, jadi selamat membaca bab 1 Twins in Love.....

1


Aku Hima. Hari ini tanggal 18 Oktober. Dan hari ini pula aku genap berusia 18 tahun. Sekarang aku sedang mengangkat sesuatu yang sangat berat. Ini adalah salah satu barang milik-atau mungkin kesayangan-ibuku.
Aku dan ibu hari ini memang sangat sibuk. Kami sedang mempersiapkan kepindahan kami ke London. Rasanya berat meninggalkan Velise. Velise adalah desa kelahiranku. Desa ini sangat kecil. Mungkin saja kau tak mengenalnya.
Walau di tempat inilah aku berasal, aku tak punya seorang temanpun. Aku sangat pendiam di sekolah dan bahkan aku dan ibuku jarang bercakap-cakap di rumah. Jadi yang membuatku berat meninggalkan Velise bukanlah teman atau sahabat-karena aku memang benar-benar tidak punya teman-, tapi karena pohon buah plum yang sudah kurawat sejak kecil. Dan sangat tak mungkin aku dapat membawa pohon kesayanganku -yang tingginya telah mencapai 3 meter di atasku- ke London.
Ya ampun, apa sih sebenarnya isi kotak ini? Pikirku. Aku meletakkannya sebentar dengan rasa jengkel. Masih ada beberapa barang lain yang harus aku angkut ke mobil Pak Arl. Dia tetangga kami yang bekerja di bandara.
“Dapatkah kau lebih cepat, Hima?”, kata Pak Arl terburu-buru.
“Ya, Pak”, aku sedikit tersentak dari lamunanku dan mendapati kotak besar itu telah di angkat oleh Han. Oh, aku pasti akan sangat merindukannya juga. Dia satu-satunya teman sekelasku yang peduli padaku. Tentu saja, dia anak Pak Arl.
Aku segera berlari mengambil 4 kotak berukuran sedang yang berisi benda-bendaku dari teras dan berlari pula saat mengangkatnya ke mobil truk yang besar itu. Han mengangkut kotak terakhir dan aku segera mengikat barang-barang di atas truk.
“Hima,”, Han menyentuh pundakku dan akupun berbalik ke arahnya sambil tanganku masih sibuk menyimpulkan tali, “aku akan sangat merindukanmu, Hima”, Han melanjutkannya dengan gugup.
Tanganku berhenti menali. Mendadak sepi di sini, sebelum ibuku berteriak menyuruh kami untuk cepat bertindak. “Yah, Han, aku pasti juga akan merindukanmu. Namun aku tak yakin teman-teman yang lain akan merindukanku.”, kataku sambil menunduk, membayangkan peristiwa saat kelulusan seminggu yang lalu.
Satu-satunya SMA di Velise memang agak ketinggalan. Seharusnya di tempat lain kelulusan sudah 4 bulan yang lalu. Sedangkan di daerah ini, hasil test akhir kami terlambat untuk di kirim.
Waktu itu, aku di sembur mati-matian oleh musuh besarku di sekolah, Jane Coldvord. Dia berhasil mencuri buku harianku dan mengetahui semua rahasiaku. Sebenarnya aku tak bermaksud memusuhinya. Tapi dia iri akan nilaiku. Jadi, kau pasti tahu apa yang di lakukannya. Dia membeberkannya di depan umum. Dan semua orang tidak akan menyangka bila Himawari Chang yang pendiam ternyata tidur memeluk boneka teddy bear besar bernama Honey, atau pernah memanjat pohon sampai celananya hancur.
Ouh, aku selalu ingin meninju muka Jane. Namun aku tidak mau melibatkan diriku pada masalah lain.
“Hima, cepatlah! Kami sudah hampir membatu di sini. Ini lebih dari 15 menit kau memainkan tali itu. Kita di sini bukan untuk bermain. Cepatlah nak!”, ibuku mulai mengomel. Dia paling benci disuruh menunggu. Walaupun kami sama-sama pendiam, namun ibu sering mengomel.
Han dengan cepat dan refleks langsung memelukku. “Sampai jumpa, Hima. Semoga kau dapat hidup baik di London.”
“Pasti, Han. Dan aku akan pulang untuk menengokmu nanti.” Dan setelah itu aku masuk ke truk. Berdesak-desakkan dengan ibu dan Pak Arl. Han melambaikan tangan. Aku dapat mengintipnya dari kaca sepion. Trukpun berjalan dan aku menengok kepada Han dan membalas melambaikan tangan.



Aku George. Hari ini aku berulang tahun yang ke-18. Ini tanggal 18 Oktober dan ini adalah hari keberuntunganku tiap tahun.Aku sangat senang karena di umurku sekarang aku boleh memakai F116, senjata yang paling kusukai. Dan tepat pada hari ini juga aku belajar menggunakannya.
Sekarang aku telah siap dengan pakaian dan tas berlatihku. Aku duduk menunggu dan bersandar di tembok depan sambil menyiulkan mars Quicklenburg, satu-satunya mars yang aku sukai dan bisa kusiulkan.
Jantungku berdebar-debar menantikan saat aku dapat memegang F116. Rasa berdebar-debar itu menjalar sampai ke perut. Kau pasti pernah merasakannya. Seperti di jatuhkan dari ketinggian 20 meter dengan kecepatan tinggi. Tanganku sedikit berkeringat, jadi aku mengusapkannya ke tembok di belakangku.
Dari kecil aku besar di asrama ini, Quicklenbrugh. Ini asrama khusus para QB. Itu adalah sebutan untuk laki-laki yang dipersiapkan untuk menjadi tentara sejak kecil. Aku adalah salah satu dari 89 QB di Quicklenburg. Memang jumlah QB di tempat ini belum pernah genap, sepanjang yang aku tahu.
Krriiiiiinggg.. bel tanda latihan mulai itu berbunyi panjang dan keras hingga dinding di belakangku sedikit bergetar. Aku segera bangkit berdiri. Setelah berlatih cukup lama-mungkin hampir seluruh hidupku kugunakan untuk berlatih, push up, sit up, fitness,dan banyak lagi-otot-ototku mulai terbentuk. Aku bangga karenanya. Namun kebanggaan itu hanya untuk disimpan saja. Semua murid di asramaku berbadan tegak dan berotot. Dan tidak ada satupun wanita di sini, kecuali Bu Sanny, koki di Quicklenburg, dan Bu Harthaway, satu-satunya perawat di sini yang mestinya sudah pensiun 2 tahun yang lalu.
Teman-teman lain pun mulai memasuki aula tempat berlatih menembak. Aku terakhir masuk ke ruang besar ini. Aku meletakkan tasku di tempat yang sama dengan yang lain dan mulai melihat-lihat ruangan ini. Ruang ini memang sangat besar. Tingginya sekitar 3 meter, dan luasnya mungkin 1000 m2. Udara di sini sangat pengap ditambah banyak properti di deret sebelah kanan aku berdiri dan banyak murid yang berdesakan hingga ruangan besar ini terlihat sangat sempit.
Kami semua berjajar menempati kabin kami masing-masing. Lebar kabin hanya 1 meter dan jarak tembakan 10 meter. Sebelum di perbolehkan memegang F116, komandan Jenifer membacakan aturan dalam aula dan mengabsen kami satu persatu.
“Alpha John!”, teriak komandan, menyebut nama John Alpha dari nama belakangnya.
“Ya, pak!”, sahut John bersemangat. John adalah teman sekamarku. Dia selalu bersemangat dalam segala hal.
Komandan kembali mengabsen kami dengan tegas dan cepat.
“Ford Jake, Maichelwish Sean, Gawn Dicky, Spane Harry,…..!!”
“Ya, pak!”, mereka yang di panggil namanya menyahut dengan lantang. Di tempat ini tidak ada yang bisa berbohong saat mengabsen. Para komandan memiliki telinga yang sangat tajam. Merekapun menghafalkan suara kami satu persatu. Dan kau pasti tahu hukuman bagi siapa yang mencoba berbohong.
“Kingest George!”, akhirnya komandan menyebut namaku.
“Ya Pak!”, aku menjawabnya seperti yang lain. Banyak yang mengira namaku aneh waktu pertama kali bertemu aku. George Kingest, aneh sekali, begitulah kata mereka. Namun tentu saja teman-temanku yang hidup bersamaku seumur hidup mungkin tak akan menganggap hal itu aneh lagi.
Komandan Jenifer kembali mengabsen sementara aku kembali melihat-lihat isi ruangan ini. Di dalam sini gelap. Walaupun ada 10 lampu utama, namun masih terlihat gelap. Di belakangku ada banyak sekali senjata yang di gantung pada tembok. Beberapa yang aku kenal, K1008J, A499, 10QB, 1k10, dan F116, tentunya. Dan semua senjata itu di gantung rapi di tembok aula. Jadi secara teknis, selain sebagai tempat berlatih, aula ini menjadi gudang senjata.
“Sekarang, para murid QB, kalian boleh mengambil F116 di belakang kalian! Dan seperti yang sudah kubacakan tadi, kalian dilarang menyentuh atau merusak apapun yang tidak ada hubungannya dengan latihan hari ini.”, komandan berhenti sebentar, ”Laksanakan!”, komandan mulai menghitung 10 detik.
Tempat F116 itu lumayan tinggi. Tapi sebagai calon tentara, tentunya lompatan kami bisa mencapai 2 kali tubuh kami. Akupun bisa dengan cepat mengambil F116. Ini keren. Senjata ini masih mengilap terkena cahaya lampu. Knilen pasti rajin membersihkannya. Knilen adalah, bisa dibilang tukang bersih-bersih di sini.
“Sepuluh!”, komandan mengakhiri hitungannya dan semua QB sudah memegang senjata dan siap di posisi masing-masing.
“Sekarang, yang harus kalian lakukan adalah memasukan peluru ke dalam F116. Dalam 2 detik kalian harus bisa melakukannya.”, komandan menarik napas panjang. “Ini adalah latihan penting. Aku akan melihat bakat F116 ini.”. komandan memberi instruksi kami, ”Hanya buka penutup di bagian bawah holder, dan masukkan satu set peluru. Peluru itu ada di balok di belakang kalian. Mengerti?”, komandan Jenifer selalu tegas apabila memberikan instruksi. Aku suka sifatnya itu.
“Ya, pak!”
“Baiklah kita mulai di hitungan ketiga…”, komandan memberi jeda, “Tiga!” Aku berbalik membuka kotak kecil itu dan memasukan peluru secara cepat.
“Sekarang pegang F116 di bagian holder dan segera arahkan ke sasaran. Dan seperti yang kubilang tadi, aku akan menilai ketepatan dan kemampuan kalian. Di mulai dengan absen satu, dan yang dapat menembak dengan benar dan tepat boleh membawa senjata itu untuk perbekalan, karena..”, seperti biasa komandan memberi jeda pada kalimat panjangnya,”itu memang ditakdirkan untuk kalian. Mengerti?”
Kami bersiap melakukan apa yang diperintahkan komandan. John di sebelahku terlihat sangat bersemangat menembak saat dipanggil namanya. John tepat sasaran!
Oh! Aku berdoa supaya akulah yang ditakdirkan untuk F116. Absen terus bergulir dan sejauh ini belum ada yang tidak tepat sasaran.
Satu nama lagi dan aku akan mendapat giliran itu. Tanganku sedikit bergetar. Aku ingin sekali memiliki senjata yang ada di tanganku untuk diriku sendiri.
“Kingest George!”, namaku mendengung di telingaku. Namun aku tahu apa yang harus dilakukan tentara. Tiba-tiba getaran di tebuhku berhenti. Aku kuatkan hatiku untuk ini. Aku bersungguh-sungguh, dan.. door!! Tembakan F116 membuatku sedikit tersentak ke belakang.
Aku tahu kalau aku tepat sasaran. Tapi, hatiku masih gelisah menunggu siapakah pemilik F116 ini. Giliran menembak terus bergulir. Sampai ke-89 QB selesai menembak dan sampailah pada saat yang kutunggu-tunggu.
“Kalian tahu berapa lama pengalamanku menjadi tentara?”, komandan Jenifer mulai lagi dengan ceramahnya.
“Tidak, Pak!”, kami selalu menjawab lantang untuk semua pertanyaan, perintah, atau apapun. Kau tahu kan, seperti yang biasa dilatihkan padaku.
“Ah, kita tidak perlu membahas hal itu. Yang terpenting sekarang adalah siapakah di antara kalian yang akan memiliki senjata berdedikasi ini. Dan aku telah menentukan, bukan asal, ataupun menganak emaskan, tapi aku melihatnya dari hati.”, komandan menjeda, “dan sudah kuputuskan Kingest George-lah QB itu.”, dari dulu komandan memang tidak berbakat menjadi MC. Dia tidak tahu arti berdebar-debar. Aku sedikit tak percaya dan hampir saja berteriak. Namun aku tahu situasi dan kondisiku. Jadi kuputuskan untuk diam.
“Latihan hari ini telah selesai. Selamat untuk George. Silahkan berkemas dan kembali ke kamar masing-masing.”
“Ya, Pak!”, kamipun membubarkan diri kami masing-masing dan mengemasi barang yang wajib kami bawa setiap harinya. Aku dengan sedikit bangga memasukkan F116 kedalam tasku lalu bersama John, kami pergi menuju kamar kami.

1 komentar:

silahkan berkomentar... :)